Peneliti senior Geoteknologi LIPI Danny Hilman mengatakan, selama ini banyak yang mengira bahwa Sesar Lembang tidak aktif. Padahal sebaliknya, sesar ini adalah salah satu sesar teraktif di Pulau Jawa, yang berhubungan dengan aktivitas gunung Sunda purba
Danny menjelaskan, penelitian LIPI menemukan endapan yang diperkirakan terbentuk akibat aktivitas sesar Lembang, yang diperkirakan berumur ribuan tahun. Data ini menunjukkan bahwa sesar Lembang tergolong sesar aktif, sekalipun belum ada gempa besar selama sejarah manusia modern.
Namun, menurut pakar geologi ITB Budi Brahmantyo, pada 1910 pernah terjadi gempa bumi besar di daerah Padalarang. Gempa tersebut termasuk dalam pergerakan patahan Cimandiri yang memang aktif. Dan seperti dikatakan oleh pakar geologi Agus Hardoyo, Sesar Lembang memang juga terhubung dengan Sesar Cimandiri.
Selanjutnya, Danny mengingatkan agar Indonesia menarik pelajaran berharga dari Gempa Kobe pada 1995 dan Gempa Yogyakarta pada 2006 lalu. Di Kobe, Jepang, yang sebelumnya tak pernah mengalami gempa selama 2000 tahun, ternyata dilanda gempa bumi dahsyat yang menghancurkan.
Hal serupa juga terjadi saat Gempa Yogyakarta pada 2006, yang diakibatkan oleh pergerakan Sesar Opak di Yogyakarta. “Ancaman gempa di Bandung bisa seperti yang terjadi di Yogyakarta," kata Danny, pada Kuliah Umum Sesar Lembang dan Hubungannya Dengan Masyarakat Bandung di Institut Teknologi Bandung, Jumat, kemarin.
Padahal, sebelumnya Yogya juga pernah mengalami gempa pada 1957. Sementara, selama ini tidak pernah ada catatan bahwa Sesar Lembang pernah mengalami gempa. "Tapi, faktanya pernah terjadi gempa di Padalarang pada 1910, yang terjadi di patahan Cimandiri. Hal ini harus diteliti lebih lanjut menggunakan data yang benar,” ujar Danny.
Untuk membuktikan keaktifan sesar Lembang, teman sejawat Danny, peneliti Geoteknologi LIPI Eko Yulianto, mengatakan bahwa mereka telah melakukan penggalian di empat titik di atas sesar Lembang.
Tiga titik digali di daerah Cihideung, dan satu titik di Sukamulya. Pada penggalian tersebut, Eko menemukan berbagai macam pepohonan dan biji-bijian di kedalaman 1,5 meter. Selain itu, ditemukan pula tengkorak monyet. Ini mengindikasikan bahwa terdapat hutan yang lebat di sesar Lembang.
Penggalian di Cihideung juga menunjukkan, bahwa setidaknya telah terjadi dua kali gempa bumi besar terjadi di Bandung. Pasalnya, pada lapisan tanah tersebut, ditemukan kontur tanah - atau dalam istilah geologi struktur beban - yang berkelok-kelok.
Bentuk berkelok-kelok memanjang itu menandakan bahwa gempa bumi besar pernah terjadi. Struktur beban terbentuk akibat guncangan atau getaran tanah menekan lapisan tanah dibawahnya sehingga membentuk batas-batas yang berkelok-kelok.
Eko mengaku belum bisa memastikan kapan struktur beban tersebut terjadi. Namun Eko memperkirakan, struktur beban terjadi antara 400-600 tahun yang lalu, di mana diperkirakan terjadi bersamaan dengan gempa bumi besar terakhir di daerah itu.
Ia juga belum bisa memastikan berapa kekuatan gempa saat itu. "Namun jika diukur dari slipnya sebesar 2 meter vertikal, maka diperkirakan gempanya berkekuatan antara 6,5 -7,0 Skala Richter,” Eko menjelaskan.
Sementara itu pakar Geodesi ITB, Irwan Meilano mengatakan, walau gempa di Pulau Jawa tidak separah dibandingkan di Sumatera, namun tetap membahayakan. Menurut Irwan, sejak 2006 lalu, ITB telah melakukan pengamatan Global Positioning System (GPS) di sekitar sesar Lembang.
Dari pengamatan itu, kecepatan laju geser dari Sesar Lembang diketahui sekitar 2 milimeter per tahun. Ini memang lebih lambat dibandingkan pergerakan sesar di Sumatera yang berkisar antara 100-130 milimeter per tahun, namun tetap Sesar Lembang patut diwaspadai.
Pasalnya, dengan menggunakan data empiris, kata Irwan, suatu patahan yang telah terbentuk sepanjang lebih dari 20 kilometer, bisa memicu gempa sebesar 6,5-7,0 SR, yang merusak.